BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Orang dewasa
yang sudah berumur 45 tahun belum tentu memilki kesadaran beragama yang mantap, bahkan mungkin kepribadiannya masih belum dewasa
atau masih
“immature”. Umur kalender atau umur seseorang yang
menggunakan ukuran waktu almanak belum tentu sejalan dengan kedewasaan
kepribadiannya, kematangan mental watak kemantapan kesadaran beragama. Banyak
orang yang telah melewati umur 25 tahun, yang berarti telah dewasa menurut umur
kalender, namun kehidupan agamanya masih belum matang. Ada pula remaja yang
berumur dibawah 23 tahun telah memiliki kesadaran beragama yang cukup dewasa.
Pada orang dewasa masih sering ditemukan ciri-ciri kesadaran beragama yang hanya
mencapai fase anak-anak. Tercapainya kematangan kesadran beragama seseorang
bergantung pada kecerdasan, kematangan alam perasaan, kehidupan motivasi,
pengalaman hidup, dan keadaan lingkungan sosial budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
kesadaran beragama
2. Tingkatan
kesadaran beragama
3. Faktor-faktor
yang memmpengaruhi kesadaran beragama
PEMBAHASAN
1. Pengertian
kesadaran agama
Kesadaran diri merupakan kondisi dari hasil proses mengenai
motivasi, pilihan dan kepribadian yang berpengaruh terhadap penilain,
keputusan, dan interaksi dengan orang lain.[1]
Kesadarn beragama dalam tulisan ini meliputi rasa keagamaan,
pengalaman ke-Tuhanan , ke imanan, sikap dan tingkah laku keagaman, yang
terorganisasi dalam sistem mental darikepribadian. Karena agama melibatkan
seluruh fungsi jiwa raga manusia, maka kesdaran beragamapun mencapai
aspek-aspek afektif, konatif, kognitif dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif
dan konatif terlihat didalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan rindu
kepada tuhan. Aspek kognitif nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan
keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku dan
keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek trsebut sukar di pisah-pisahkan
karena merupakan suatu sistem kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian
seseorang.[2]
Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi yang hadir
(terasa) dalam pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi atau dapat dikatakan
bahwa ia adalah aspek mental dan aktifitas agama.[3]
Jalaludin (2007:106)
menyatakan bahwa kesadaran orang untuk beragama merupaakan kemantapan jiwa
seseorang untuk memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan
mereka. Pada kondisi ini, sikap keberagamaan orang sulit untuk diubah, karena
sudah berdasarkan pertimbangan dan pemikiran yang matang. Sedangkan menurut
Abdul Azia Ahyadi (1988:45), kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan,
pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang
terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian. Keadaan ini dapat dilihat
melalui sikap keberagamaan yang terdefernisasi yang baik, motivasi kehidupan
beragama yang dinamis, pandangan hidup yang komprehensif, semangat pencarian
dan pengabdiannya kepada tuhan, juga melalui pelaksanaan ajaran agama yang
konsisten, misalnya dalam melaksanakan sholat, puasa dan sebagainya (Abdul
Aziz, 1988:57)[4]
2.
Tingkatan-tingkatan Kesadaran beragama
a) Kesadaran
beragama pada masa anak-anak
Pada waktu lahir, anak-anak belum beragama. Ia baru memiliki
potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum
mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan
dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Selaras dengan
perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan
adanya kontinuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun
perkembangan kesadaran itu berlanjut,namun setiap fase perkembangan menunjukkan
adanya ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa
anak-anak ialah :
Ø Pengalaman
ke-Tuhanan yang lebih bersifat efektif, emosional dan egosentris.
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak melalui hubungan
emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai
kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses
identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya di
sadari oleh si anak terhadap sikap dan perilaku orang tua.
Ø Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang
menuju ke fase realistik.
Keimanan sang anak kepada Tuhan belum merupakan suatu
keyakinan sebagai hasil pemikiran yang obyektif akan tetapi lebih merupakan
bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan
jiwanya akan kasih sayang, rasa aman dan kenikmatan jasmaniyah. Walaupun
sekitar umur delapan tahun sikap anak makin tertuju ke dunia luar, namun
hubungan anak dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara
kebutuhan dirinya dengan sesuatu yang ghaib dan di bayangkan secara konkret.
Ø Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang
kurang di hayati.
Pada umur 6-12 tahun perhatian ankan yang tadinya lebih
tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia
luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi
makhluk sosial yang mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun dan tata
cara bertingkah laku yang sesuai denga lingkungan rumah dan sekolahnya.[5]
b) Kesadaran
beragama pada masa remaja
Kesadaran agama atau semangat pada masa remaja itu, mulai
dengan cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti kembali caranya
beragama dimasa kecil dulu. Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya waktu
kecil itu, tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar
atau alasan tidak lagi menggembirakannya. Jika ia misalnya dilarang melakukan
suatu karena agama, ia tidak puas,kalau alasannya hanya dalil-dalil dan
hukum-hukum mutlakyang diambilkan dari ayat-ayat kitab suci atau hadis-hadis
nabi. Mereka ingin menjadikan agama,sebagai suatu lapangan baru untuk
membuktikan pribadinya, karenanya ia tidak mau lagi beragama sekedar
ikut-ikutan saja.[6]
Ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja
ialah:
Ø Pengalaman ke-Tuhanannya
makin bersifat individual
Remaja makin mengenal dirinya. Ia menemukan “diri”nya bukan
hanya sekadar badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis
rohaniah berupa “pribadi”. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan
segala sesuatu yang menjadi milik pribadinya.ia menemukan pribadinya terpisah
dari pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya. Pemikiran,
perasaan, keinginan, cita-cita dan kehidupan psikologis rohaniah lainnya adalah
milik pribadinya. Penghayatan penemuan diri pribadi ini dinamakan
“individuasi”, yaitu adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan
bukan diri sendiri
Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri
sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya.
Secara formal dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus
menjadi bertambah labil.
Keadaan labil yang menekan menyebabkan si remaja mencari
ketentraman dan pegangan hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tidak berdaya
menjadikan si remaja berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan
hidup, pelindung dan penunjuk jalan dalam goncangan psikologis yang dialaminya.
Ø Keimananya makin
menuju realitas yang sebenarnya.
Teratahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan
kecenderungan yang besar untuk merenungkan, mengkritik, dan menilai diri
sendiri. Intropeksi diri ini dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya
pada orang lain tentang dirinya tentang keimanan, dan kehidupan agamnya.
Dengan berkembangnya kemampuan berpikir secara abstrak,si
remaja mampu pula menerima dan memahami ajaran agama yang berhubungan dengan
masalah ghaib, abstrak dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari
kebangkitan dan lain-lain. Penggambaran anthropomorphik atau memanusiakan Tuhan
dan sifat-sifat-Nya,lambat laun di ganti dengan pemikiran yang lebih sesuai
dengan realitas.
Ø Peribadata mulai disertai penghayatan yang tulus
Pada masa ini remaja mulai mendidik dirinya sendiri. Ia
berusaha mendisiplinkan diri sesuai dengan norma dan ajaran yang dihayatinya
sebagai ikatan dari dalam diri pribadinya, karena norma itu telah diakui dan
dirasakan sebagai milik dan bagian pribadinya. Esensi agama adalah pengalaman
kehadiran Tuhan, kekuatan yang tertinggi. Dalam usaha mengharmoniskan hidupnya
dengan tuhan, manusiabertingkah lakusesuai dengan kehendak Tuhan dan tingkah
laku ini adalah tingkah laku bermoral.[7]
3. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kesadarn beragama
a) Faktor
internal
Menurut fitrahnya, manusia adalah makhluk beragama atau
memilki potensi beragama, mempunyai keimann kepada Tuhan. Dalam
perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada
yang mendapat bimbingan dari agama sehingga fitrahnya itu berkembang secara
benar sesuai tuntunan agama.
b) Faktor
eksternal
Perkembangan kesadarn beragama akan dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang memberikan bimbingan, pengajaran dan pelatihan yang
memungkinkan kesadaran beragama itu berkembang dengan baik. Faktor lingkungan
tersebut antara lain:
1) Lingkungan
keluarga
Keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan atau
pembelajaran anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai agama dan
kemampuannya dalam mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
2) Lingkungan
sekolah
Dalam mengembangkan kesadaran beragam siswa, peranan sekolah
sangat penting, peranan ini terkait dengan pengembangan pemahaman, pembiasaan
mengimplementasikan ajaran-ajaran agama, serta sikap apresiatif terhadap ajaran
atau hukum-hukum agama.
3) Lingkungan
masyarakat
Lingkungan masyarakat ini maksudnya adalah hubungan atau
interaksi sosial dan sosiokultular yang potensial berpengaruh terhadap
perkembangan fitrah atau kesadaran beragama seseorang.[8]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi yang hadir
(terasa) dalam pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi atau dapat
dikatakanbahwa ia adalah aspek mental dan aktifitas agama.
Tingkatan –tingkatan Kesadaran beragama:
a) Kesadaran
beragama pada masa anak-anak
b) Kesadaran
beragama pada masa remaja
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran beragama:
a) Faktor
internal
b) Faktor
eksternal
2. Penutup
Demikian makalah tentang “KESADARAN BERAGAMA” yang telah
kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kritik dan saran sangat kami
harapkan guna menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyadi, Abdul aziz. 1995. Psikologi Agama. Bandung: Sinar
Baru Al gensindo
Daradjat, Zakiyah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan
Bintang
Hidayah dkk, Nurul. 2011. Makalah Kesadaran Beragama dan
Pengalaman Beragama.
http://repository.Upi.Edu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mari belajar bersama