Senin, 24 September 2012

KESADARAN BERAGAMA



BAB I
PENDAHULUAN

    A.            Latar Belakang Masalah
          Orang dewasa yang sudah berumur 45 tahun belum tentu memilki kesadaran beragama  yang mantap, bahkan  mungkin kepribadiannya masih belum  dewasa  atau   masih
“immature”. Umur kalender atau umur seseorang yang menggunakan ukuran waktu almanak belum tentu sejalan dengan kedewasaan kepribadiannya, kematangan mental watak kemantapan kesadaran beragama. Banyak orang yang telah melewati umur 25 tahun, yang berarti telah dewasa menurut umur kalender, namun kehidupan agamanya masih belum matang. Ada pula remaja yang berumur dibawah 23 tahun telah memiliki kesadaran beragama yang cukup dewasa. Pada orang dewasa masih sering ditemukan ciri-ciri kesadaran beragama yang hanya mencapai fase anak-anak. Tercapainya kematangan kesadran beragama seseorang bergantung pada kecerdasan, kematangan alam perasaan, kehidupan motivasi, pengalaman hidup, dan keadaan lingkungan sosial budaya.
     B.            Rumusan Masalah
1.      Pengertian kesadaran beragama
2.      Tingkatan kesadaran beragama
3.      Faktor-faktor yang memmpengaruhi kesadaran beragama


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian kesadaran agama
Kesadaran diri merupakan kondisi dari hasil proses mengenai motivasi, pilihan dan kepribadian yang berpengaruh terhadap penilain, keputusan, dan interaksi dengan orang lain.[1]
Kesadarn beragama dalam tulisan ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan , ke imanan, sikap dan tingkah laku keagaman, yang terorganisasi dalam sistem mental darikepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa raga manusia, maka kesdaran beragamapun mencapai aspek-aspek afektif, konatif, kognitif dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat didalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan rindu kepada tuhan. Aspek kognitif nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku dan keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek trsebut sukar di pisah-pisahkan karena merupakan suatu sistem kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang.[2]
Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dan aktifitas agama.[3]
 Jalaludin (2007:106) menyatakan bahwa kesadaran orang untuk beragama merupaakan kemantapan jiwa seseorang untuk memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan mereka. Pada kondisi ini, sikap keberagamaan orang sulit untuk diubah, karena sudah berdasarkan pertimbangan dan pemikiran yang matang. Sedangkan menurut Abdul Azia Ahyadi (1988:45), kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian. Keadaan ini dapat dilihat melalui sikap keberagamaan yang terdefernisasi yang baik, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pandangan hidup yang komprehensif, semangat pencarian dan pengabdiannya kepada tuhan, juga melalui pelaksanaan ajaran agama yang konsisten, misalnya dalam melaksanakan sholat, puasa dan sebagainya (Abdul Aziz, 1988:57)[4]
2.      Tingkatan-tingkatan Kesadaran beragama
a)      Kesadaran beragama pada masa anak-anak
Pada waktu lahir, anak-anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Selaras dengan  perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran itu berlanjut,namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah :
Ø   Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat efektif, emosional dan egosentris.
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak melalui hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya di sadari oleh si anak terhadap sikap dan perilaku orang tua.
Ø Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju ke fase realistik.
Keimanan sang anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang obyektif akan tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman dan kenikmatan jasmaniyah. Walaupun sekitar umur delapan tahun sikap anak makin tertuju ke dunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan dirinya dengan sesuatu yang ghaib dan di bayangkan secara konkret.
Ø Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang di  hayati.
Pada umur 6-12 tahun perhatian ankan yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial yang mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun dan tata cara bertingkah laku yang sesuai denga lingkungan rumah dan sekolahnya.[5]
b)      Kesadaran beragama pada masa remaja
Kesadaran agama atau semangat pada masa remaja itu, mulai dengan cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti kembali caranya beragama dimasa kecil dulu. Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya waktu kecil itu, tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar atau alasan tidak lagi menggembirakannya. Jika ia misalnya dilarang melakukan suatu karena agama, ia tidak puas,kalau alasannya hanya dalil-dalil dan hukum-hukum mutlakyang diambilkan dari ayat-ayat kitab suci atau hadis-hadis nabi. Mereka ingin menjadikan agama,sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, karenanya ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja.[6]
Ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja ialah:
Ø  Pengalaman ke-Tuhanannya makin bersifat individual
Remaja makin mengenal dirinya. Ia menemukan “diri”nya bukan hanya sekadar badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa “pribadi”. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang menjadi milik pribadinya.ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya. Pemikiran, perasaan, keinginan, cita-cita dan kehidupan psikologis rohaniah lainnya adalah milik pribadinya. Penghayatan penemuan diri pribadi ini dinamakan “individuasi”, yaitu adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan bukan diri sendiri
Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya. Secara formal dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah labil.
Keadaan labil yang menekan menyebabkan si remaja mencari ketentraman dan pegangan hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tidak berdaya menjadikan si remaja berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup, pelindung dan penunjuk jalan dalam goncangan psikologis yang dialaminya.
Ø  Keimananya makin menuju realitas yang sebenarnya.
Teratahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan kecenderungan yang besar untuk merenungkan, mengkritik, dan menilai diri sendiri. Intropeksi diri ini dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang dirinya tentang keimanan, dan kehidupan agamnya.
Dengan berkembangnya kemampuan berpikir secara abstrak,si remaja mampu pula menerima dan memahami ajaran agama yang berhubungan dengan masalah ghaib, abstrak dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan dan lain-lain. Penggambaran anthropomorphik atau memanusiakan Tuhan dan sifat-sifat-Nya,lambat laun di ganti dengan pemikiran yang lebih sesuai dengan realitas.
Ø Peribadata mulai disertai penghayatan yang tulus
Pada masa ini remaja mulai mendidik dirinya sendiri. Ia berusaha mendisiplinkan diri sesuai dengan norma dan ajaran yang dihayatinya sebagai ikatan dari dalam diri pribadinya, karena norma itu telah diakui dan dirasakan sebagai milik dan bagian pribadinya. Esensi agama adalah pengalaman kehadiran Tuhan, kekuatan yang tertinggi. Dalam usaha mengharmoniskan hidupnya dengan tuhan, manusiabertingkah lakusesuai dengan kehendak Tuhan dan tingkah laku ini adalah tingkah laku bermoral.[7]
3.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadarn beragama
a)      Faktor internal
Menurut fitrahnya, manusia adalah makhluk beragama atau memilki potensi beragama, mempunyai keimann kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama sehingga fitrahnya itu berkembang secara benar sesuai tuntunan agama.
b)      Faktor eksternal
Perkembangan kesadarn beragama akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang memberikan bimbingan, pengajaran dan pelatihan yang memungkinkan kesadaran beragama itu berkembang dengan baik. Faktor lingkungan tersebut antara lain:
1)      Lingkungan keluarga
Keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan atau pembelajaran anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai agama dan kemampuannya dalam mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
2)      Lingkungan sekolah
Dalam mengembangkan kesadaran beragam siswa, peranan sekolah sangat penting, peranan ini terkait dengan pengembangan pemahaman, pembiasaan mengimplementasikan ajaran-ajaran agama, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama.
3)      Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat ini maksudnya adalah hubungan atau interaksi sosial dan sosiokultular yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah atau kesadaran beragama seseorang.[8]


BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi atau dapat dikatakanbahwa ia adalah aspek mental dan aktifitas agama.
Tingkatan –tingkatan Kesadaran beragama:
a)      Kesadaran beragama pada masa anak-anak
b)      Kesadaran beragama pada masa remaja
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran beragama:
a)      Faktor internal
b)      Faktor eksternal
2.      Penutup
Demikian makalah tentang “KESADARAN BERAGAMA” yang telah kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kritik dan saran sangat kami harapkan guna menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyadi, Abdul aziz. 1995. Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru Al gensindo
Daradjat, Zakiyah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Hidayah dkk, Nurul. 2011. Makalah Kesadaran Beragama dan Pengalaman Beragama.
http://repository.Upi.Edu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mari belajar bersama